Rabu, 21 November 2012

FAKTOR KEMUNDURAN SAINS DALAM PERADABAN ISLAM


Faktor-faktor penyebab kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal.

Menurut Profesor Sabra (Harvard) dan David King (Frankfurt), kemunduran itu dikarenakan pada masa terkemudian kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis agama. Arithmetika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian harta warisan. Astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) diajarkan terutama untuk membantu para muwaqqit menentukan arah kiblat dan menetapkan jadwal shalat. Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat, sebab asas manfaat ini acapkali justru berperan sebaliknya, menjadi faktor pemicu perkembangan dan kemajuan sains.

Senin, 19 November 2012

Strategi Pengembangan Sains-Teknologi di Dunia Islam Masa Kini dan Mendatang



cara pandang terhadap sains dan teknologi, studi sains dan teknologi menjadi bagian dari studi Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), paradigma ini tidak lagi memisahkan sains dan teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains-teknologi bagian dari agama.
Strategi pengembangan islam dan sains dibagi menjadi 2 kelompok :
         Penciptaan paradigma baru tentang sains-teknologi
Paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains-teknologi .
Studi sains-teknologi menjadi bagian dari studi Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) .
Paradigma ini tidak lagi memisahkan sains-teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains-teknologi bagian dari agama.


Bagian dari studi islam terbagi menjadi 3 :
1.      Ontologi
-          Bahwa secara ontologis, untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah.
-          Lebih dari 750 ayat al-Qur’an membahas tentang fenomena alam
2.      Epistemologi Sains-Teknologi
-          Bayani
harus menjadikan teks al-qur’an dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi
-          Burhani
harus membiasakan diri melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya
-          Irfani
terkait dengan sikap dan aspek esoterik saintis dalam mensikapi suatu fenomena alam
3.      Aksiologi Sains-Teknologi
-          Sains-teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
-          Sains-teknologi harus bisa mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiin).

Pertemuan VII. Makalah Integrasi-Interkoneksi dan Contohnya

untuk materinya download disini

Pertemuan VI.C. Model Integrasi-Interkoneksi

untuk materinya download disini

Pertemuan VI.B. Ranah Integrasi-Interkoneksi

untuk materinya download disini

Pertemuan V.C. & VI.A. Landasan Integrasi-Interkoneksi

untuk materinya download disini

Pertemuan V.C. & VI.A. Landasan Integrasi-Interkoneksi

untuk

Pertemuan V.B. Pengertian Integrasi-interkoneksi

untuk materi download disini

Pertemuan V.A. Latar Belakang Integrasi-Interkoneksi

untuk materinya silahkan download disini

Kamis, 15 November 2012

pertemuan IVB "Pendekatan Pemaduan islam sains"

untuk materinya silahkan download disini

pertemuan IVA "Strategi Pengembangan islam sains"

 untuk materinya silahkan download disini

pertemuan IIIB "Hubungan islam sains"

 untuk materinya silahkan download disini

pertemuan IIIA "Hubungan islam sains"

 untuk materinya silahkan download disini

pertemuan II "Tipologi Hubungan islam sains"

 untuk materinya silahkan download disini

pertemuan I "Sejarah Hubungan islam sains"

 untuk materinya silahkan download disini

Hubungan Islam dan Sains


Hubungan Islam dan Sains
A.      Hubungan Sains dalam Islam
               Hunbungan sains dalam islam berdampak besar pada kemajuan dan kemunduran sains dalam peradaban islam. Pelopor kemajuan dan kemunduran sains adalah umat islam sendiri. Umat islam menjadi pelopor sains karena sejak abad ke-1 Hijriah sampai abad ke-5 Hijriah ummat islam mempelajari sains dan melakukan penafsiran ilmiah.

B.      Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam


ISLAM mendorong Pengembangan Sains :
          Q.S. Al-’alaq 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu itu adalah maha mulia. Dia yang mengajarkan dengan kalam. Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”
          Q.S. Ali-imran 190-191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. ”
          Q.S. Al-jatsiyah 13
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaumterhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Tipologi Hubungan Sains dan Agama


Di akhir dasawarsa tahun 90-an sampai sekarang, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci).
Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”
ada empat tipologi hubungan sains dan agama
a.       Tipologi konflik
b.      Tipologi independensi
c.       Tipologi integrasi
d.      Tipologi dialog
1.       Tipologi konflik
menganggap bahwa  sains dan agama saling bertentangan yang dianut oleh kelompok materialisme ilmiah dan kelompok literalisme kitab suci
Pandangan Kelompok Materialisme Ilmiah
-          keyakinan agama tidak dapat diterima karena agama bukanlah data yang dapat diuji dengan percobaan
-          sains (ilmu pengetahuan) bersifat obyektif, terbuka, dan progressif
-          agama (kitab suci) bersifat subyektif, tertutup, dan sangat sulit berubah
Pandangan Kelompok Literalisme Kitab Suci
-          teori ilmiah melambungkan filsafat materialisme dan merendahkan perintah moral Tuhan
Penyebab terjadinya konflik antara agama dan sains adalah :
a      - fundamentalisme sains (ilmu pengetahuan)  
       - fundamentalisme agama (kitab suci)
Fundamentalisme
 sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri (http://id.wikipedia.org)
Oleh karena kefundamentalismenya mereka yang menganggap diri mereka sendiri lebih murni daripada lawan-lawan mereka merasa paling benar dan kemudian menyalahkan yang lain.
Seorang fundamentalis memandang nilai atau ideologi tertentu sebagai non negotiable yang harus dilindungi secara sempurna dalam perubahan situasi apapun. Mereka takut kehilangan nilai-nilai primordial. Dalam mempertahankan nilai atau ideologi mereka sendiri.
2.       Tipologi Independensi
Konflik Sains dan Agama Tidak Perlu Terjadi  karena sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci) barada di wilayah yang berbeda (ontology, epistimologi, dan aksiologi).
3.       Tipologi Dialog
mencari (secara ilmiah) hubungan (konseptual dan metodologis) antara sains dan agama, kemiripan dan perbedaannya.
DIALOG ISLAM DAN SAINS
-          KONSEPTUAL
sains menyentuh persoalan di luar wilayahnya sendiri (misalnya: mengapa alam semesta serba teratur?)
sains digunakan sebagai analogi untuk membahas hubungan Tuhan dengan dunia, yakni adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi
-          METODOLOGI
sains dipahami tidaklah seobyektif dan agama juga dipahami tidaklah sesubyektif – sebagaimana yang diduga.
4.       Tipologi Integrasi
Tipologi ini menggabungkan antara agama dan sains
Proses dari tipologi integrasi
          menyerukan perumusan ulang terhadap gagasan-gagasan teologi tradisional
          teologi tradisional dikaji secara lebih ekstensif (luas) dan sistematis

“ Peran Sains dan Teknologi dalam Memajukan Peradaban “


Detik-detik ini dikenal dengan masa runtuhnya berbagai wacana besar. Modernisme sebagai wujud isme krisis kemanusiaan akibat ancaman nuklir, AIDS atau kerusakan sistem sosial yang terus berkembang kepada keakcauan sistem. yang telah membuktikan keberhasilannya menjadi penguasa jaman, saat ini terus mengalami goncangan hebat semenjak kritik pedas dari berbagai kalangan akibat efek samping yang mengerikan sehingga terjadinya kerusakan lingkungan. Namun cara berfikir yang memandang bahwa masa sebelumnya, abad pertengahan, sebagai massa yang lebih baik juga tidak bisa dibenarkan. Secara bijak, lebih baik kita memandang fase-fase peradaban manusia ini sebagai sebuah pelajaran, khususnya untuk membangun peradaban baru pengganti modernisme.
Bila kita mencoba memandang awal kelahiran modernisme, kita akan melihat sebuah proses revolusi peradaban yang berawal dari revolusi pemahaman manusia tentang tentang
cara pandang terhadap realitas melalui fisika di tangan Descartes. Disaat itu Descartes membangun sebuah wacana besar tentang metode pemahaman realitas yang bertumpu pada konsep Democritus yang membagi realitas ke dalam atom-atom penyusun realitas dan
kemudian dicari sistemnya terhadap keseluruhan. Di tangan Descartes dan para pengikutnya inilah kemudian Fisika yang menjadi Geometris menjelma sebagai bentuk ideologi besar modernisme, bahkan kemudian setelah meruntuhkan dominasi gereja bisa menjadi ‘satu-satunya’ tafsir kebenaran terhadap segala macam realitas. Alam di dalam tafsir ala Descartes merupakan sebuah alam yang ‘lansung jadi’ dan tidak memiliki perubahan. Sistemnya tetap,begitu juga elemen pembentuk alam.
Setelah konsepsi Descartes mempengaruhi segala macam kehidupan, termasuk tatanan sosial di tengan Bacon dan Comte, kemudian alam fikiran modern mengenal seorang Lamarck dan Darwin dengan teori evolusinya di bidang Biologi . Walaupun keduanya sejatinya berbeda dalam memaknai proses evolusi, namun konsep evolusi ini merupakan sebuah revisi terhadap konsep ala Descartes yang menganggap alam sebagai sebuah sistem yang tetap. Ternyata ide Darwin ini kemudian mendapat dukungan dari generasai berikutnya, yang kemudian abad modern mengenal Karl Marx yang dikenal sebagai seorang Darwinian Sosial yang menganggap bahwa preses pergantian sosialpun memerlukan seleksi alam, bahkan dihalalkan adanya konflik untuk keluar sebagai pemenang dalam proses seleksi alam.
Setelah dunia mengenal Newton, kemudian Fisika mengalami proses penyempurnaan lagi. Realitas yang terdiri atas sistem dan elemen pembentuk sistem (Descates), dan realitas yang sejatinya mengalami sebuah evolusi terus menerus (Darwin) di terangkan oleh Newton dalam Mekanika. Wacana besar pembentuk modernisme di tangan Newton bisa dibilang sempurna. Dan wacana besar Descartes, Darwin dan Newton ini yang kemudian menjadi fondasi modernisme. Apalagi ketiga konsep besar itu menemukan bentuk fungsionalnya dalam teknologi ditangan para teknolog, sebuah revolusi industri telah dialami oleh ummat manusia semenjak akhir abad ke -17. Melihat proses kelahiran modernisme di atas, bisa  dikatakan peran Sains ( atau lebih tepatnya Natural Science) dalam menentukan arah peradaban cukup besar. Dimana para Saintis yang memiliki kompetensi filosofis tersebut ternyata terbukti bisa menggiring sejarah ummat manusia. Begitu juga peran Teknologi, dimana ketika Sains memiliki peran besar dalam proses pembentukan wacana besar yang menjadi fondasi ‘kebenaran’, Teknologi sebagai bentuk aplikasi Sains memiliki peran besar dalam realitas sosial. Pendek kata, Sains bisa bermain di ‘langit’ dan teknologi bisa bermain di ‘bumi’.
Selanjutnya, bagaimana peran Sains dan Teknologi dalam penentuan bentuk peradaban baru pasca modernisme ?
Fritjof Capra menyitir Toynbee tentang proses kelahiran Minoritas Kreatif sebagai nukleolus penentu arah peradaban sebagai berikut:
Budaya runtuh karena kehilangan Fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya flesibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat -kemampuannya untuk menghadapi tantangan – tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru  ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (dari Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981).
Dari deskripsi Toynbee di atas, sepertinya semenjak terjadi revisi di dalam konsep Newton oleh Farady dan Maxwell melalui Teori Medan Listriknya, serta lahirnya teori Fisika Kuantum dan Relatifitas ditangan Heisenberg dan Einstein, minoritas kreatif pembentuk peradaban baru tersebut sedikit demi sedikit telah terbentuk. Bahkan setelah ada interaksi antara matematika tingkat tinggi dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal bentuk `plikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh meninggalkan
konsep mekanika newton. Dunia kemudian juga mengenal adanya pengaruh filosofis dari konsep Fisika Kuantum terhadap realitas sosial, dimana ketika teknologi Komputer berinteraksi dengan realitas sosial, lahirlah sebuah teknologi informasi yang bergerak dalam logika Kuantum yang diprediksikan oleh Tofler akan menjadi tulang punggung bentuk peradaban baru pengganti modernisme. Kemudian kita mengenal bagaimana konsep cepat-lambat mengalami perubahan secara drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi sehinga konsep jauh dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan makna. Dengan demikian jaring- jaring Cartesian akan sulit untuk mengambarkan karena konsep ruang dan waktu ini sudah berubah secara filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan imajiner yang juga kemudian di kembangkan oleh dunia IT akan segera teratasi akan semakin meninggalkan jaring-jaring Cartesian sebagai satu-satunya yang bisa menggambarkan kenyataan. Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa genetika yang meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti, pengaruh dominan Sainstis dan Teknolog ternyata masih sangat dominan untuk menentukan masa depan ummat manusia. Apalagi setelah Ilmuan Sosial Mahzab Kritis dengan Posmodernismenya terjebak dalam wacana dan definisi semata, serta para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan perdebatan liberal dan konservatifnya, disdari atau tidak para Saintis dan Teknolog akan tetap menjadi penentu arah peradaban. Seorang Descartes disaat awal merumuskan konsep Geometri Analitisnya mungkin tidak berfikir tentang implikasi moral dan sosial dari konsepnya. Demikian juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat konsep reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang spesialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam tidak begitu penting. Sehingga, bisa jadi pengaruh yang diberikan mereka terhadap bentuk perubahan sosial tidak begitu difikirkan mereka. Dalam kalimat lain, bentuk modernisme sebagai bentuk tatanan sosial pengganti tatanan sosial ‘abad kegelapan’ bisa jadi tidak pernah mereka fikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi dampak negatifnya terhadap kenyataan sosial. Bersandar dari modifikasi kebijaksanaan para geologist dengan The Present is the key to the past and the future, ‘penyesalan’ ummat manusia terhadap akhir menyakitkan dari modernisme perlu disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak saat ini komunitas saintis dan teknolog terus membangun bentuk pengembagan dan penerapan sains dan teknologi yang mempertimbangkan konsekuensi ekologi, moral dan sosial dari proses inovasi maupun inventory yang mereka lakukan. Karena, dalam kenyataannya teriakan para ahli ilmu sosial dan juga teolog atau ulama tidak akan banyak artinya karena sejatinya Minoritas kreatif atau nukleolus dari sel-sel pembentuk peradaban ini disadari atau tidak adalah saintis dan teknolog itu sendiri.
Perlu kiranya dibangun sistem yang memungkinkan terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan teknologi, dari fihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan spesialisasi lain tanpa harus memandang bidang ilmu dan kompetensi  yang mungkin di dalam sistem feodalisme baru yang mereka anut dipandang lebih rendah.
Disamping itu, perlu dibangun sebuah etika profetis (meminjam konsep Kuntowijoyo) di kalangan saintis dan teknolog, sebagaimana layaknya para nabi yang memandang dirinya sebagai sosok pembebebas ummat manusia dari segala penindasan, sebagai sosok yang mendedikasiakan proses inovasi dan inventory-nya untuk pembangunan kembali hakekat kemanusiaan yang nyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat ummat manusia akan kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah mahluk Tuhan yang tiada lain harus berbuat baik di dunia ini. 

Sumber : Aryha Shinjiro, http://sembadha.wordpress.com/2012/10/13/peran-sains-dan-teknologi-dalam-memajukan-peradaban/

Rabu, 14 November 2012

SEJARAH HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS




1.         Masa pada Abad ke-15 M (Galileo)
Pada abad ke-15M dan 16M dikenal dengan Abad atau Zaman Renaisans. Konflik antara agama dan sains telah dimulai sejak abad 15, ketika Galileo menentang paham geosentris (bumi merupakan pusat tata surya) yang dianut oleh gereja. Galileo dikenal sebagai seorang pendukung Heliosentris yang dikemukakan oleh Aristarkhos (310 SM-230 SM) yang sebelumnya didukung oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Johannes Kepler (1571-1630).
Heliosentris adalah teori yang berpendapat bahwa Matahari bersifat stasioner dan berada pada pusat alam semesta. Secara historis, heliosentrisme bertentangan dengan geosentrisme oleh Aristoteles dan Pteolemeus, yang menempatkan Bumi di pusat alam semesta. Ketika abad ke-16 ditemukan suatu model matematis dapat meramalkan secara lengkap sistem heliosentris, yaitu Nicolaus Copernicus, seorang ahli matematika dan astronom. Pada abad berikutnya, model tersebut dijabarkan dan diperluas oleh Johannes Kepler, dan selanjutnya pengamatan pendukung dengan menggunakan teleskop oleh Galileo Galilei.
Pada tahun 1610 saat Galileo menerbitkan karyanya Sidereus Nuncius (Pembawa Pesan Berbintang), menjelaskan pengamatan-pengamatan yang mengherankan yang ia alami dengan teleskop barunya. Hal-hal ini dan penemuan-penemuan lainnya melahirkan kesulitan-kesulitan besar pada pengertian akan surga yang telah dipegang teguh sejak lama, dan melahirkan minat yang baru di dalam ajaran-ajaran radikal seperti teori heliosentrisme Copernicus.
Sebagai reaksinya, banyak cendekiawan menyerang teori tersebut sebab teori ini terlihat bertentangan dengan beberapa kutipan dari Kitab Suci. Galileo hanya bermaksud mentransfoermasikan sains  agar lebih bermanfaat bagi kehidupan. Galileo di dalam kontroversi atas teologi, astronomi dan filosofi ini berpuncak pada pengadilan dan penjatuhan hukumannya pada tahun 1633 atas dasar kecurigaan yang mendalam akan paham yang melawan ajaran Gereja. Ketaksesuaian agama dan sains berlanjut hingga masa sesudahnya (masa Newton / masa sains modern).
2.      Masa pada Abad ke-17 M (Newton)
sejarah perkembangan sains modern beserta aplikasi teknologi yang ada sekarang diawali oleh Newton (mekanika klasik). Mekanika klasik Newton berdampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Konsep mekanika klasik Newton bersifat mekanistik deterministik (apabila kondisi awal dari sesuatu dapat ditentukan, maka kondisi berikutnya dapat diprediksi secara tepat). Mekanika Klasik Newton berdampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Newton menjabarkan hukum gravitasi dan tiga hukum gerak yang mendominasi pandangan sains tentang alam semesta selama tiga abad. Newton berhasil menunjukkan bahwa gerak benda di Bumi dan benda-benda luar angkasa lainnya diatur oleh sekumpulan hukum-hukum alam yang sama. Ia membuktikannya dengan menunjukkan konsistensi antara hukum gerak planet Kepler dengan teori gravitasinya. Karyanya ini akhirnya membuat keraguan para ilmuwan akan heliosentrisme dan memajukan revolusi ilmiah. 
·      Dampak Positif Paradigma Newton
1.          Paradigma Newton
 Revolusi Industri (Inggris, abad ke-17) dengan penemuan mesin tenun dan mesin    cetak
2.          Tahapan Industri
Mekanisasi (abad ke-17) , Energisasi (abad ke-18) , Optimalisasi (abad ke-18 s.d. ke-19) , Otomatisasi (abad ke-19 s.d. Ke-20)
3.        Penciptaan Alam Semesta
Bahwa alam semesta tidak ada dengan sendirinya , sesuai dengan agama (alam semesta ada yang menciptakan )
4.         Kehancuran Alam Semesta
Beberapa milyard tahun yang akan datang sesuai perhitungan waktu peluruhan neutron (inti atom) , Sesuai dengan agama (alam semesta tidak kekal)  
·      Dampak Negatif Paradigma Newton

1.                   Membentuk masyarakat yang sekularistik
2.                  Mengabaikan nilai-nilai religiusitas (mengabaikan unsur Tuhan karena merasa dapat memprediksi apa yang akan terjadi

Konsep Integrasi Interkoneksi di UIN Sunan Kalijaga


Bagi kalangan intelektual muslim khususnya di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah konsep integrasi dan interkoneksi, apalagi bagi mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia, kedua istilah ini sudah menjadi bahan pembicaraan rutin dalam forum diskusi formal maupun informal di lingkungan kampus. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalnya, istilah integrasi dan interkoneksi sudah diperkenalkan sejak mahasiswa mengikuti sosialisasi pembelajaran dan sosialisasi kurikulum. Akan tetapi satu hal yang disayangkan adalah familiernya mahasiswa dengan istilah integrasi interkoneksi ini tidak diikuti dengan pemahaman yang komperehensif terhadap kedua istilah tersebut. Akibatnya konsep integrasi interkoneksi yang menjadi pijakan UIN dalam mengembangkan ciri khas keilmuannya seakan hanya menjadi wacana dan belum aplikatif di kalangan mahasiswa khususnya, walaupun ada kemungkinan juga terjadi di kalangan sebagian tenaga pendidiknya. Di sisi lain alasan kewajaran bisa diberikan karena transformasi IAIN menjadi UIN juga belum terlalu lama, akan tetapi sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengusung konsep integrasi dan interkoneksi hendaknya lebih cepat dalam mengembangkan pemahaman konsep ini di kalangan internal sebelum mensosialisasikan kepada kalangan eksternal kampus. Maka dalam hal ini akan kita ulas mengapa konsep integrasi interkoneksi masih sulit dipahami dan tulisannya hanya menjadi penghias di buku-buku kurikulum (filosofis kata-katanya tetapi tidak dimengerti maknanya).

KEMUNDURAN ISLAM DI DUNIA ISLAM


Pekan depan Pameran Kegemilangan Sains dalam Tamadun Islam yang digelar di Kuala Lumpur akan berakhir. Seperti diberitakan harian ini (10/01/07), pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi bekerja sama dengan Institute for the History of Arabic-Islamic Science Johann Wolfgang Goethe University Frankfurt itu bertujuan membangkitkan kembali semangat dan kesadaran generasi muda akan pentingnya mempelajari dan menguasai sains dan teknologi.

Lebih dari seratus artefak dan manuskrip dalam pelbagai bidang ditampilkan menawan, sekaligus mengundang pertanyaan, bagaimana umat Islam berhasil mencapai kejayaan itu? Yang lebih mengherankan lagi, mengapa semua itu kemudian lenyap?