Rabu, 14 November 2012

KEMUNDURAN ISLAM DI DUNIA ISLAM


Pekan depan Pameran Kegemilangan Sains dalam Tamadun Islam yang digelar di Kuala Lumpur akan berakhir. Seperti diberitakan harian ini (10/01/07), pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi bekerja sama dengan Institute for the History of Arabic-Islamic Science Johann Wolfgang Goethe University Frankfurt itu bertujuan membangkitkan kembali semangat dan kesadaran generasi muda akan pentingnya mempelajari dan menguasai sains dan teknologi.

Lebih dari seratus artefak dan manuskrip dalam pelbagai bidang ditampilkan menawan, sekaligus mengundang pertanyaan, bagaimana umat Islam berhasil mencapai kejayaan itu? Yang lebih mengherankan lagi, mengapa semua itu kemudian lenyap?


Sains di dunia Islam

Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo sekitar 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad
saw (632 M), kaum Muslim telah menaklukkan seluruh jazirah Arab. Ekspansi dakwah yang diistilahkan 'pembukaan negeri-negeri' itu berlangsung pesat. Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun intensif ini tidak lain adalah gerakan islamisasi.

Unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih, dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk
mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya.
Melihat prestasi gemilang itu, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan bagaimana semua itu dapat terjadi? Jika dikaji dan ditelusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam saat itu ada lima. Pertama, berkat kesungguhan dalam mengimani mempraktikkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Alquran
dan Sunah itu lahirlah individu-individu unggul. Kedua, adanya motivasi agama. Ketiga adalah faktor sosial politik. Keempat adalah faktor ekonomi. Faktor kelima, yang tak kalah
pentingnya adalah dukungan dan perlindungan penguasa saat itu.



Pemicu Kemunduran

Lantas mengapa perjalanan sains di dunia Islam seolah-olah mendadak berhenti? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sesederhana melontarkannya. Secara umum, faktor-faktor penyebab kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal.
Menurut Profesor Sabra (Harvard) dan David King (Frankfurt), kemunduran itu dikarenakan pada masa berikutnya, kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis
agama. Aritmatika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian harta warisan. Astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) diajarkan terutama untuk membantu para muwaqqit menentukan arah kiblat dan menetapkan jadwal shalat.

Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat, sebab asas manfaat ini acapkali justru berperan sebaliknya, menjadi faktor pemicu perkembangan dan kemajuan sains. Jawaban lain menyatakan bahwa oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi dan politik, serta keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga faktor utama penyebab kematian sains di dunia Islam. Ini pendapat David Lindberg (1992). Menurut dia, sains dan saintis pada masa itu seringkali ditentang dan disudutkan. Ia menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba. Krisis ekonomi dan kekacauan politik amat berpengaruh terhadap perkembangan sains.

Selain itu, beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi, kurangnya matematisasi, langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya eksperimentasi, juga dianggap sebagai penyebab stagnasi sains di dunia Islam. Pendapat ini disanggah oleh Toby Huff. Menurut dia, mengapa di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan bukan revolusi sains lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh hal-hal tersebut. Buktinya, Copernicus pun didapati menggunakan model dan instrumen yang didesain oleh At Tusi. Tradisi saintifik Islam, tegas Huff, juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen dalam bidang astronomi, optik maupun kedokteran.

Ada juga klaim yang menghubungkan kemunduran sains dengan sufisme. Memang benar, seiring dengan kemajuan peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang dipelopori oleh kaum sufi. Intinya, adalah penyucian jiwa dan pembinaan diri secara lebih intensif dan terencana. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan tersebut kemudian
mengkristal jadi tarekat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam.

Popularisasi tasawuf inilah yang bertanggung jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional di masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek-aspek mistik supernatural seperti keramat, kesaktian, dan sebagainya ketimbang pada aspek ritual dan moralnya. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan
kegandrungan pada hal-hal tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bid'ah, takhayyul dan khurafat. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ilmu sihir, pedukunan dan aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon, dan perjimatan.

Memasuki era modern, sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan.

Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrem. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada
tempatnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan ataupun kemunduran sains dipengaruhi oleh dan tergantung pada banyak faktor internal maupun eksternal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar