Faktor-faktor
penyebab kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua,
internal dan eksternal.
Menurut Profesor
Sabra (Harvard) dan David King (Frankfurt), kemunduran itu dikarenakan pada
masa terkemudian kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
praktis agama. Arithmetika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian
harta warisan. Astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri)
diajarkan terutama untuk membantu para muwaqqit menentukan arah kiblat dan
menetapkan jadwal shalat. Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat, sebab
asas manfaat ini acapkali justru berperan sebaliknya, menjadi faktor pemicu
perkembangan dan kemajuan sains.
Jawaban lain
menyatakan bahwa oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi dan politik, serta
keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga faktor utama penyebab kematian
sains di dunia Islam. Ini pendapat David Lindberg (1992). Menurutnya, sains dan
saintis pada masa itu seringkali ditentang dan disudutkan. Ia menunjuk kasus
pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba.
Tak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi dan kekacauan politik amat
berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik berkepanjangan disertai perang
saudara telah mengakibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi.
Padahal, kata Lindberg, a flourishing scientific enterprise requires peace,
prosperity, and patronage. Tiga pilar ini mulai absen di dunia Islam menjelang
abad ke-13 Masehi. Semua ini diperparah dengan datangnya serangan tentara
Salib, pembantaian riconquista di Spanyol, dan invasi Mongol yang
meluluh-lantakkan Baghdad pada 1258. Tidak sedikit perpustakaan dan berbagai
fasilitas riset dan pendidikan porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh dan, sebagai
akibatnya, sains berjalan tertatih-tatih.
Faktor ketiga
yang ditunjuk Lindberg biasa disebut ‘marginality thesis’. Sains di dunia Islam
tidak bisa maju karena konon selalu dipinggirkan atau dianak-tirikan.
Akibatnya, sains tidak pernah secara resmi diakui sebagai salah satu mata
pelajaran atau bidang studi tersendiri. Pengajaran sains hanya bisa dilakukan
dengan cara ‘nebeng’ atau diselipkan bersama subjek lainnya. Seberapa jauh
kebenaran tesis ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pada level yang lebih
tinggi, hal ini berimplikasi pada riset dan pengembangan. Konon para saintis
saat itu banyak yang bekerja sendiri-sendiri, di laboratorium milik pribadi,
meskipun disponsori dan dilindungi oleh patronnya. Namun demikian tidak ada
lembaga khusus yang menampung mereka. Kesimpulan semacam ini agak problematik.
Pertama, karena mencerminkan generalisasi yang tergesa-gesa dan, kedua, karena
institutionalisasi tidak selalu berdampak positif tetapi bisa juga berakibat
sebaliknya.
Selain itu,
beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi, kurangnya matematisasi,
langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya eksperimentasi, juga dianggap
sebagai penyebab stagnasi sains di dunia Islam. Pendapat ini disanggah oleh
Toby Huff. Menurutnya, mengapa di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan
bukan revolusi sains lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh
hal-hal tersebut diatas. Buktinya, Copernicus pun didapati menggunakan model
dan instrumen yang didesain oleh at-Tusi. Tradisi saintifik Islam, tegas Huff,
juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen dalam bidang
astronomi, optik maupun kedokteran. Oleh karena itu Huff lebih cenderung
menyalahkan iklim sosial-kultural-politik saat itu yang dianggapnya gagal
menumbuhkan semangat universalisme dan otonomi kelembagaan di satu sisi, dan
membiarkan partikularisme serta elitisme tumbuh berkembang-biak. Di sisi lain,
Huff menilai tidak terdapatnya skeptisisme yang terorganisir dan dedikasi murni
turut mempengaruhi perkembangan sains di dunia Islam.
Ada juga klaim
yang menghubungkan kemunduran sains dengan sufisme. Memang benar, seiring
dengan kemajuan peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral
spiritual yang dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan
pembinaan diri secara lebih intensif dan terencana. Pada perkembangannya,
gerakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal jadi tarekat-tarekat dengan
pengikut yang kebanyakannya orang awam. Popularisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab
melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional
dikalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada
aspek-aspek mistik supernatural seperti keramat, kesaktian, dan sebagainya
ketimbang pada aspek ritual dan moralnya. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan
kegandrungan pada hal-hal tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk
bid’ah, takhayyul dan khurafat. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi
ilmu sihir, pedukunan dan aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon, dan
perjimatan. Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains disebabkan
oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar