Bagi kalangan intelektual muslim khususnya di Indonesia
sudah tidak asing lagi dengan istilah konsep integrasi dan interkoneksi,
apalagi bagi mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia, kedua
istilah ini sudah menjadi bahan pembicaraan rutin dalam forum diskusi formal
maupun informal di lingkungan kampus. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
misalnya, istilah integrasi dan interkoneksi sudah diperkenalkan sejak
mahasiswa mengikuti sosialisasi pembelajaran dan sosialisasi kurikulum. Akan
tetapi satu hal yang disayangkan adalah familiernya mahasiswa dengan istilah
integrasi interkoneksi ini tidak diikuti dengan pemahaman yang komperehensif
terhadap kedua istilah tersebut. Akibatnya konsep integrasi interkoneksi yang
menjadi pijakan UIN dalam mengembangkan ciri khas keilmuannya seakan hanya
menjadi wacana dan belum aplikatif di kalangan mahasiswa khususnya, walaupun
ada kemungkinan juga terjadi di kalangan sebagian tenaga pendidiknya. Di sisi
lain alasan kewajaran bisa diberikan karena transformasi IAIN menjadi UIN juga
belum terlalu lama, akan tetapi sebagai lembaga pendidikan tinggi yang
mengusung konsep integrasi dan interkoneksi hendaknya lebih cepat dalam
mengembangkan pemahaman konsep ini di kalangan internal sebelum
mensosialisasikan kepada kalangan eksternal kampus. Maka dalam hal ini akan
kita ulas mengapa konsep integrasi interkoneksi masih sulit dipahami dan
tulisannya hanya menjadi penghias di buku-buku kurikulum (filosofis
kata-katanya tetapi tidak dimengerti maknanya).
Sampai
saat ini konsep integrasi interkoneksi masih menjadi salah satu jargon utama di
kalangan intelektual muslim kelas atas, sebutlah salah satunya Prof. Dr. H.
Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menggambarkan konsep
integrasi interkoneksi ini dengan visualisasi jaring laba-laba keilmuan (scientific
spider web) sebagai miniatur sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Hal
mendasar yang perlu dimengerti terlebih dahulu adalah konsep integrasi
interkoneksi merupakan sebuah paradigma mendasar dalam struktur keilmuan
keIslaman yang sedang dibangun kembali untuk menyeimbangkan struktur keilmuan
yang sudah mulai timpang sejak runtuhnya kekuasaan Turki Usmani. Jadi
sebenarnya konsep keilmuan integrasi interkoneksi ini telah berkembang pada
beberapa abad yang lalu dan terbukti dapat memberikan nilai keseimbangan dalam
kehidupan manusia dari berbagai segi kehidupan. Fakta ini dapat dilihat dalam
sejarah abad pertengahan pada masa kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan, dimana
ilmu keagamaan Islam dan ilmu pengetahuan alam dan sosial dapat berkembang
bersama tanpa harus saling terpisah apalagi sampai timbul konflik di antaranya.
Pada akhirnya konsep seperti ini dirubah oleh para ilmuwan barat dengan mendikhotomikan
beberapa bidang keilmuan. Hal ini disebabkan oleh dogma gereja yang selalu
keras bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka akhirnya munculah sekat (gap)
yang memisahkan para penganut gereja dengan para ilmuwan pada saat itu. Bagi
para ilmuwan yang menentang dogma gereja berpendapat bahwa agama adalah candu
yang hanya menyisakan keterbelakangan ilmu. Sejak itulah paradigma yang
dikhotomis dalam struktur keilmuan muncul, dan parahnya paradigma inilah yang
kita adopsi dari barat melalui berbagai ilmu pengetahuan alam dan sosial yang
mereka kembangkan.
Jadi secara teoritis konsep keilmuan yang integratif
interkonektif adalah konsep keilmuan yang terpadu dan terkait antara keilmuan
agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan sosial (al-ilm) dengan
harapan akan menghasilkan sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah).
Jadi hubungan antara bidang keilmuan tidak lagi terjadi konflik tetapi saling
menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung.
Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi
keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi
dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan
dengan ilmu etika misalnya. Pada dasarnya yang ingin dibangun kembali adalah
paradigma yang salah dalam melihat struktur keilmuan secara utuh. Dalam Islam
secara alamiah (sunnatullah) berkeyakinan bahwa tidak ada yang salah
dengan struktur keilmuan yang sudah ada sejak zaman dahulu, hanya saja
pandangan ilmuwan yang serba terbatas seringkali merubah tatanan keilmuan
menjadi dikhotomis berdasarkan latar belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut.
Sedikit sulit bagi kita dalam memahami sebuah paradigma
yang sangat abstrak ini, akan tetapi konsep integrasi interkoneksi adalah
paradigma yang bisa divisualisasikan dalam kehidupan kita. Sebenarnya di
kalangan akademisi sendiri masih belum banyak dipahami tentang indikator
keberhasilan dalam penerapan konsep integrasi interkoneksi ini, sehingga belum
diketahui titik evaluasi yang harus diperbaiki. Untuk memahami konsep integrasi
interkoneksi dalam praktek keseharian kita, maka saya akan menggunakan tiga
kata kunci entitas yang diadopsi dari konsep keterpaduan ilmu oleh Prof. Dr. H.
Amin Abdullah, yaitu nash (keagamaan), ilmu (alam dan sosial),
dan falsafah (etika). Rumusnya adalah jika kita telah berhasil
memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai segi
kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya.
Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan
kepentingan ketiganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar